Sejarah Desa
Menurut sumber tetua/tokoh Masyarakat nama Desa Salem berasal dari kata “Selamentara” yang menurut arti bahasa Ibrani sela berarti
batu sedangkan mentara mengandung arti merah. Ada juga yang mengatakan bahwa Salem berasal dari kata "salam" yang artinya
keselamatan. Pada masa lampau, daerah Salem termasuk dalam wilayah Kerajaan Galuh dan Kerajaan Padjajaran. Ada cerita lisan yang mengatakan bahwa Wilayah Salem mempunyai kaitan dengan kejadian Perang Bubat pada Zaman Kerajaan Majapahit. Setelah Perang Bubat, ternyata tidak seluruh prajurit Padjajaran mati terbunuh dan kembali ke Jawa Barat. Prajurit yang selamat tersebut kemudian menetap di wilayah Kecamatan Salem, hal ini sebagian dapat dilihat di situs Gunung Sagara (Lautan).
Pada abad ke-19 ditemukan naskah lontar tua di situs Gunung Sagara yang menggunakan Bahasa Sunda kuno. Naskah ini dibawa bupati Brebes RAA. Tjandranegara dan diserahkan kepada seorang ahli bahasa KF. Holle untuk kemudian disimpan di Batavia. Paling tidak ada dua naskah Sunda yang terkenal, yaitu Sewaka Darma dari Kabuyutan Ciburuy, Garut dan Carita Ratu Pakuan, yang menyebutkan sendiri bahwa isi naskahnya berasal dari hasil bertapa di Gunung Kumbang (1218). Gunung Kumbang masa lampau mungkin adalah sebuah tempat lemah dewa sasana, kabuyutan, dan tempat bagi para intelektual masa kerajaan Sunda. Mungkin di sini termasuk juga Gunung Sagara, di mana Gunung Sagara terletak di lereng selatan Gunung Kumbang tersebut.
Wilayah Sunda di daerah Salem dan sekitarnya mempunyai perbedaan kebiasaan dengan daerah Sunda lainnya (Priangan, Banten, Karawang, dll). Perbedaan tersebut terutama dapat dilihat dalam hal adat budaya, bahasa, detail bentuk-bentuk kesenian, dan juga dalam tatacara beragama. Tata cara beragama penduduk Salem masih terdapat unsur keagamaan Hindu dengan campuran-campuran adat setempat yang kental. Pada zaman Hindia Belanda, penduduk Salem masih ada yang melestarikan atau melaksanakan praktek perkawinan animisme. Misalnya, jika penduduk bermaksud hendak melaksanakan pernikahan, maka mereka akan mendaki dahulu ke lereng Gunung Sagara. Jika di lereng Gunung Sagara terlihat ada burung yang melakukan perkawinan, artinya kedua mempelai tersebut direstui oleh penghuni Gunung Sagara.
Wilayah Salem merupakan wilayah yang jauh dari pusat kabupaten, tetapi pernah ditetapkan menjadi sebuah kawedanan pada masa penjajahan Belanda. Penetapan ini disebabkan strategisnya daerah Salem. Pada era awal perang kemerdekaan, Salem juga menjadi pusat pertahanan atau tempat mengungsi Bupati Brebes pro Republik. Waktu itu bupati kembar, yang pro Belanda disebut bupati Recomba berkantor di Brebes (Gandasuli), sementara bupati RI berkantor di desa Bentarsari, Kecamatan Salem. Mengingat daerahnya yang strategis tersebut, setelah Perang kemerdekaan usai, daerah ini juga pernah menjadi daerah basis pemberontak DI/TII pimpinan Amir Fatah. Tahun 1960-an Hal itu erat kaitannya dengan keberadaan pasukan TNI yang pernah bertugas di daerah Salem.